Sawoo.
Ditemukan sebuah prasasti dengan gaya tulisan Kediri Kwadrat yang
menceritakan tentang perjalanan sejarah Kerajaan Kediri di era Panjalu
sekitar abad X-XI, prasati ini ditemukan tepatnya di Dukuh Ngrenak Desa
Ketro Kecamatan Sawoo Kabupaten
Ponorogo. Prasasti yang diukir di batu andesit hitam dengan tinggi 120
cm, lebar 70 cm dan tebal 17 cm itu kondisinya sangat memprihatinkan,
nyaris tidak ada perhatian dari pemerintah setempat. Warga sekitar
mengeramatkan tempat penemuan prasasti ini, masyarakat menyebutnya watu
tulis ‘Mbah Krapyak’.
Dahulu tempat batu berinskripsi di atas jalan sawah di tepi sungai desa. Namun karena abrasi pinggir sungai, maka sekarang batu berinskripsi tersebut jatuh di tengah sungai. Selama beberapa tahun, lokasi batu ini tertimbun pohon bambu yang roboh melintang dari seberang sungai,” kata Novi Bahrul Munib, arkeolog asal Kediri yang juga menjadi Pamong Budaya Non PNS Kabupaten Sumenep.
Novi yang juga aktivis Pasak (Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri) ini akhirnya melakukan penelusuran. Sebab kondisi prasasti tersebut terbengkalai serta terguling di tengah Sungai Desa Ketro, dan terancam proyek saluran irigasi desa yang akan dimulai pelaksanaannya pada akhir Agustus 2013 ini.
“Tulisan tertutup lumut yang membuat karakter aksara sulit dibaca, dan harus dibersihkan terlebih dahulu dari lumut kerak,” tambahnya.
Masih menurut Novi, melihat model pengukiran aksara dalam prasasti menggunakan gaya Kediri Kwadrat, sehingga memiliki gaya yang umum digunakan sekitara Abad X-XI Masehi.
“Prasasti ini memiliki arti khusus, terutama untuk mengungkap masa pemerintahan ri Maharaja ri Bamewara Sakalabuanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa dari Kerajaan Panjalu pasca Raja Airlangga. Maupun mengungkap keberadaan pemerintahan di sekitar lereng Gunung Wilis sebelah barat, dimana Ponorogo dipercaya pernah sebagai pusat Ibu Kota Kerajaan Wengker,” jelasnya.
Lokasi prasasti di Kecamatan Sawoo, tidak jauh dari lokasi temuan Prasasti Sirahketeng dari masa Sri Maharaja Djigjayasastraprabu di Kecamatan Sambit.
“Semakin menarik untuk kajian sejarah kuno. Dimana diketahui saat Kerajaan Panjalu masih eksis, di wilayah Ponorogo pernah berdiri kerajaan lain pula. Sehingga diharapkan dengan temuan prasasti ini mampu memberi tambahan referensi untuk mengkaji sejarah sekitar abad XI,” tambahnya.
Dahulu tempat batu berinskripsi di atas jalan sawah di tepi sungai desa. Namun karena abrasi pinggir sungai, maka sekarang batu berinskripsi tersebut jatuh di tengah sungai. Selama beberapa tahun, lokasi batu ini tertimbun pohon bambu yang roboh melintang dari seberang sungai,” kata Novi Bahrul Munib, arkeolog asal Kediri yang juga menjadi Pamong Budaya Non PNS Kabupaten Sumenep.
Novi yang juga aktivis Pasak (Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri) ini akhirnya melakukan penelusuran. Sebab kondisi prasasti tersebut terbengkalai serta terguling di tengah Sungai Desa Ketro, dan terancam proyek saluran irigasi desa yang akan dimulai pelaksanaannya pada akhir Agustus 2013 ini.
“Tulisan tertutup lumut yang membuat karakter aksara sulit dibaca, dan harus dibersihkan terlebih dahulu dari lumut kerak,” tambahnya.
Masih menurut Novi, melihat model pengukiran aksara dalam prasasti menggunakan gaya Kediri Kwadrat, sehingga memiliki gaya yang umum digunakan sekitara Abad X-XI Masehi.
“Prasasti ini memiliki arti khusus, terutama untuk mengungkap masa pemerintahan ri Maharaja ri Bamewara Sakalabuanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa dari Kerajaan Panjalu pasca Raja Airlangga. Maupun mengungkap keberadaan pemerintahan di sekitar lereng Gunung Wilis sebelah barat, dimana Ponorogo dipercaya pernah sebagai pusat Ibu Kota Kerajaan Wengker,” jelasnya.
Lokasi prasasti di Kecamatan Sawoo, tidak jauh dari lokasi temuan Prasasti Sirahketeng dari masa Sri Maharaja Djigjayasastraprabu di Kecamatan Sambit.
“Semakin menarik untuk kajian sejarah kuno. Dimana diketahui saat Kerajaan Panjalu masih eksis, di wilayah Ponorogo pernah berdiri kerajaan lain pula. Sehingga diharapkan dengan temuan prasasti ini mampu memberi tambahan referensi untuk mengkaji sejarah sekitar abad XI,” tambahnya.
0 Komentar